Tentang Pilkada

Lagi-lagi negeri ini terbelah, setelah sebelumnya membuat gap lewat Pilpres, kini anak bangsa kembali terbelah lewat penerapan system dalam Pilkada, yaitu langsung/tak langsung (DPRD). Walau sudah diputuskan lewat voting di DPR sebagai lembaga legislatif, dimana Pilkada penerapannya tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat melainkan DPRD (sebagai representasi keterwakilan dari rakyat juga sebenarnya). Namun nyatanya kelompok-kelompok yang tidak puas tetap berusaha menentangnya dan menyebut hal ini sebagai suatu kemunduran dari demokrasi.

Lucu rasanya kalau disebut sebagai kemunduran dari demokrasi dan sangat lucu lagi kelompok penentang ini menyinggung-nyinggung istilah demokrasi, padahal voting didalam gedung DPR adalah representasi dari demokrasi itu sendiri. 😆

Bila mau bijak dan berfikir jernih, masing-masing dari kelompok ini (baik yang pro/kontra) mempunyai pandangan yang sama-sama dibenarkan dan sangat realistis menurut penulis. Bila pandangan dari keduanya memang realistis tentunya memang harus dicari pemecahannya dan berhubung institusi yang berwenang mengatasi hal tersebut adalah DPR, maka DPR lah yang harus memutuskannya, baik itu lewat voting maupun musyawarah/mufakat didalamnya.

Cuma menjadi “kesialan” bagi kelompok penentang Pilkada Tak Langsung, yang mempunyai jumlah kursi di parlemen yang kalah bersaing dengan kelompok lawannya (baca: Koalisi Merah Putih) yang nantinya sudah bisa dipastikan bila suara KMP ini solid, akan dengan mudah menjungkalkan lawan politiknya tersebut. Dan hal itulah yang terjadi KMP berhasil memenangkan voting dan mengharuskan Pilkada kedepannya harus dipilih lewat DPRD.

Jadi jangan salahkan votingnya dong, apalagi mempersalahkan yang bermanuver “walk-out”. Salahkan dong, kenapa waktu pemilihan legislatif sebelumnya tidak maksimal sehingga berimbas pada jumlah kursinya di DPR.. iyyaa toh..

Terlepas dari pro/kontra yang terjadi didalamnya, Pilkada Langsung bagi penulis sendiri sebenarnya lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Sering kita lihat lewat pemberitaan-pemberitaan di media yang memberitakan banyak sekali Pilkada Langsung berlangsung dengan sangat tidak kondusif. Dari tawuran antara kelompok yang berujung pada pembakaran gedung KPU daerah hingga money politic yang begitu telanjang.

Intinya masyarakat Indonesia belumlah siap untuk menerapkan prinsip “siap kalah-siap menang” dalam model pemilihan seperti ini.

Prinsip “siap kalah-siap menang” mudah sekali diambil contohnya. Coba lihat didalam olahraga sepakbola di negri ini. Biasanya para pendukung klub tuan rumah selalu ingin menang dan menang, tidak ada kamusnya harus kalah. Bila klubnya kalah, sudah bisa ditebak, biasanya suka rusuh. Atau kalau pun tidak, para pendukung klub tuan rumah biasanya “menekan” wasit lewat yel-yel.. “Wasit goblog…wasit goblog.. dll yang tentunya bisa berakibat pada putusan-putusan wasit selanjutnya disaat itu.

Yang terakhir bagi penulis, demokrasi tidak hanya sekedar lewat Pilkada. Namun aspirasi rakyat secara langsung masih bisa tersalurkan lewat pemilihan yang lebih “prestisius” lagi, yaitu Pilpres. (Kalo model yang ini mah harga mati, harus langsung dong… iyyaa toh..) 😆

Udahlah.. urusan Walikota, Bupati, dan Gubernur kita serahkan kepada DPRD. Malah enak kan.. ngga bentar-bentar masuk bilik trus nyoblos… iyyaaa toh..

8 Comments

Trims untuk komentarnya....