Damai banget rasanya bila melihat para abang becak yang sedang asyik berleha-leha didalam becaknya. Nampak sekilas memang becak ini sebagai “rumah mini” buat mereka di jalan. Bayangkan saja “pose-pose selfie” mereka didalam becak yang seolah tak peduli dengan norma kesopanan yang umum dipakai oleh masyarakat kita. Tentunya bila melihat hal seperti itu, jangan juga kita berperan layaknya seperti guru BP di sekolah yang selalu memberikan konseling kepada anak didiknya kemudian berkata, “Bang, yang sopan dong duduknya..!” Bisa-bisa anda akan digebukin oleh para abang becak sekomplek. 😆
Berkaitan dengan abang becak dan perangkat pendukungnya, yaitu becak itu sendiri. Ternyata kemajuan tekhnologi berdampak cukup signifikan terhadap “perlakuan” penumpang terhadap si penariknya (abang becak). Kemajuan tekhnologi saat ini telah “memanusiakan” para abang becak dalam melayani para penumpangnya.
Penulis sebutkan “memanusiakan” karena melihat pada abad-abad sebelumnya (abad 19) model becak yang dahulu tidaklah seperti sekarang yang telah menggunakan tuas penggerak sehingga lebih memudahkan dan lebih meringankan beban dari si penarik dalam membawa penumpangnya.
Mungkin kita pernah menonton film mandarin yang mengambil settingannya pada abad 19, dimana becak tempo dulu penariknya justru berada didepan. Sementara itu penumpangnya ada dibelakangnya. Ada pun roda yang digunakannya hanya dua (beroda dua) serta menggunakan ban mati. Tentunya sudah bisa dibayangkan bagaimana lelah dan beratnya membawa penumpang dengan cara ditarik seperti itu. Penggambaran seperti ini tentunya tidak jauh berbeda seperti layaknya kereta kuda, yang sudah barang tentu mengasosiasikan si penarik becak seperti hewan kuda. Inilah yang dimaksud perbudakan secara halus dan terkesan sangat tidak manusiawi.
Dibalik kesan yang miring terhadap becak tempo dulu, ternyata becak merupakan bentuk kesetiaan seorang suami terhadap istrinya lho. Diceritakan suatu hari pada tahun 1865, saat berjalan-jalan menikmati pemandangan kota Yokohama, Jepang, Jonathan Goble, seorang misionaris Amerika, berfikir bagaimana membuat kendaraan untuk istrinya yang lumpuh. Dia pun mulai menggambar kereta kecil tanpa atap diatas secarik kertas. Rancangan tersebut lalu ia kirimkan kepada sahabatnya, Frank Pollay. Pollay membuatnya sesuai rancangan Goble dan kemudian membawanya kepada seorang pandai besi bernama Obadiah Wheeler hingga akhirnya jadilah becak.
Becak tersebut oleh orang-orang Jepang disebut Jinrikisha (kendaraan yang ditarik oleh tenaga manusia). Keberadaan jinrikisha menarik perhatian para bangsawan. Jinrikisha kemudian identik dengan kendaraan para bangsawan.
Singkatnya keberadaan jinrikisha kini telah berubah wujudnya (di Indonesia) dan tentunya telah memanusiakan manusia itu sendiri. Sekarang si penarik (abang becak) tinggal mengayuh becaknya yang beroda tiga dengan senyumannya yang terus mengembang… (soalnya jalanannye turunan sih.. 😀 )
“Bang.. becak ya Bang.. !”
“Maaf ya Mas.. lagi istirahat nih.. !
uda lamaaaa banget ga naek becak,uda ga ada dijkarata ya,bogor juga ga ada..
suka kasian klo yang bawa uda sepuh,tapi sengaja milih dia biar ada pemasukan sibpknya
malah kadang turun ajalah kasian da…
sya jga udah lama gag naek beca mb@wi3nd.. 🙂 jakarta mmg udah steril dr beca, tapi bogor msh ada lho, di pasar anyar ada, di pasar kebon kembang (PGB) jga msh ada..
iya.. ska gag tega memang klo yg genjot sudah agak sepuh, paling2 ongkosnya ska dilebihkan.. 🙂
di malang masih banyak. Kadang ngeri kalau naik becak di jalan ramai, apalagi klo ada lampu merahnya. soalnya si abang becak sukanya melanggar gars marka, maju banget
berarti gag mau kalah ama motor ya di lampu merah.. 😀
udah lama nggak naik becak, padahal di depok masih suka liat becak berseliweran, nggak kayak jakarta kayaknya udah jarang ya 😀
yaa.. di depok mmg masih banyak becak yg beroperasi, tdk spt di Jkt yg mmg sdh dilarang.. 😀
di sini udah nggaka ada beda. digusur
Jkt memang sdh sejak lama steril dari beca.. 😀
Thx kawan !