Sewaktu masih kerja didaerah Grogol, aku sering sekali menggunakan angkutan umum yang satu ini. PPD 213 begitulah namanya. Sebuah angkutan umum berjenis bus yang melayani trayek Kp Melayu – Grogol yang bertarif sangat terjangkau.
Dikala pagi seperti halnya daerah-daerah diibukota lainnya, keramaian penumpang disudut-sudut terminal adalah pemandangan yang sudah biasa terjadi dan bukanlah sesuatu yang aneh. Mereka ini (para penumpang) berlomba-lomba saling berdesakkan saling dorong, dahulu mendahului untuk berebut tempat duduk didalamnya.
Dramatisasi yang terjadi didalamnya pun turut mewarnai keriuhan “perlombaan” yang sudah menjadi rutinitas saban paginya. Ada mungkin yang sandalnya sampai putus akibat terinjak sepatu penumpang lainnya, ada penumpang bertubuh gemuk yang susah sekali untuk mengangkat kakinya (padahal penumpang lainnya sudah keringatan berderet antri dibelakangnya menunggu si ibu gemuk ini naik), atau bahkan ada penumpang terpaksa mencium konde seorang nenek yang berdiri persis didepannya (dalam hatinya.. nih nenek pagi-pagi mau kemana ya.. mbok ya kalau pagi-pagi naek angkutan jangan pake konde lha nek, jadi bikin geli aja.. )
Aku sendiri belajar dari pengalaman bagaimana riuhnya para penumpang di terminal, berusaha mensiasatinya dengan naik bus 213 bukan di terminalnya, yaitu Kp Melayu melainkan naik dari Mester Jatinegara. Disinilah sebenarnya terminal bayangan itu terjadi di kala pagi karena biasanya bila sudah penuh, bus 213 ini akan segera meluncur pergi tanpa masuk ke terminal Kp Melayu lagi, namun memotong jalan yang ada didepan sebelum terminal. Hanya beberapa mungkin yang masuk ke terminal Kp melayu dan sudah bisa dipastikan penumpang didalamnya akan padat sekali.
Awal-awalnya aku sering menikmati duduk dibelakang karena tidak mau terbebani oleh perasaan bersalah tidak memberikan tempat duduk terutama kepada kaum perempuan (dibelakang jarang sekali penumpang wanita, biasanya wanita sering mengambil posisi didepan atau ditengah untuk kenyamanannya), namun karena di pagi hari pun para pencopet sudah mulai beraksi (secara berkelompok) terutama dibelakang, aku jadi ngeri juga melihatnya. Sejak itulah bila aku naik 213 dari terminal bayangannya yaitu Mester, aku lebih sering kemudian duduk didepan, persisnya disamping kaca jendela. Namun tetap sebagai seorang penumpang yang berhati nurani, rasanya tak tega mata ini bila melihat seorang wanita berdiri persis didepan kita dengan “bahasa verbal” yang terlihat diwajahnya. “Mari bu, duduk disini!” ucapku kemudian. “Terima kasih ya Mas..” balasnya lagi.
Suatu kebahagiaan rasanya bila hari itu kita bisa memberikan manfaat buat orang lain walau itu hanya lewat sebuah bangku didalam sebuah bus. Energi positif pun akan terus membawa kedalam aura kerja dan pastinya kita akan selalu dimudahkan dalam segala sesuatunya di hari itu. InsyaAllah.
Kini aku tak tahu, apakah terminal bayangan di Mester buat bus 213 ini masih ada atau tidak? Dan aku sendiri tak tahu, masih adakah bus PPD 213 saat ini? Yang pastinya jejak-jejak jalan itu masih ada dan masih sama seperti dulu. Jejak-jejak jalan yang dulunya mengisi banyak cerita dan kenangan buatku….
apakah masih banyak copet di ppd213 ?
jd takut mau naik, soalnya kalo benar kerja di tmpt itu. harus naik ini 😦
Sya sudah tidak naik bus ini lagi sekarang, lebih baik naik busway saja.
Trims udah singgah !
masih ada bis ini,dan masih sama rutenya..
skrg di terminal kampung melayu..
aku msh naik bis ini kalo mau ke masjid sunda kelapa dan masih murah ongkosnya 😀
iya.. masih ada ya.. pengen sekali2 kalo nanti mampir di Rawa Bunga trus mo main ke Gramed, naik bus ini..
wahh.. mb@wi3nd msh ska naek ya.. 🙂
masih suka naek klo pas mau ke MASK aja 😀
PP naek ni ,karna hanya itu yang aku bisa pakai untuk menuju kesana
hayuks atuh bernostalgia dengan 213 lagi kang 😀
iyaa.. nanti kapan2 mo nostalgia lagi ama 213, sapa tahu ntar bs papasan ama mb@wi3nd.. 🙂
Kalau di Banda Aceh ada bus namanya Damri. Harganya murah sekali. Biasanya yang naik adalah mahasiswa. Kalau bus yang besar-besar biasanya untuk perjalanan jauh. Kalau angkutan umum sehari-hari yang paling banyak berseliweran namanya labi-labi 🙂
wahh.. kebalikannya nih, klo di Jkt, bus Damri biasa dipergunakan oleh para penumpang yg ingin ke bandara.. ada bbrp titik pemberangkan dr bus Damri ini, diantaranya rawamangun dan tarifnya gag murah.
*angguk-angguk
😀
pernah ngrasain bus ppd tingkat no.20 grogol-blok m, kalau sore ngeri juga gerombolan pencopet itu, ada cerita lucu juga, satu saat ada pencopet, kelihatannya ini bukan pencopet yang biasa, dia beroperasi sendiri, celingak celinguk terus ngrogoh kantong di depan ku, dapet dia uang itu, habis itu wajahnya cemberut, usut punya usut yang ke ambil uang seratusan merah bukan bergambar sukarno hatta, tapi seratus rupiah gambar badak.. eh tapi dulu lumayan juga kali ya 🙂
hahaha.. 😀 jdi kecele pencopetnya ya..
klo sya dlu suka naik bus tingkat Pasar Baru – Pd Kopi, sekali2nya dicopet waktu tas ransel sya “digeledah” tanpa sya sadari, copetnya mencuri salahsatu buku sya.. #copetintelek
PPD213 masih ada dan masih beroperasi, mas
kalau saya dulu naiknya kopaja P-18 untuk sekolah dan P-613 waktu ke kampus…. dan sekarang udah nggak beroperasi lagi
wahh.. 213 msh ada ya..
ingin rasanya suatu saat naik bus ini lgi trus maen ke Citraland.. 😀
thx ya !