Jatinegara Timur 101

Dimasa musim penghujan saat ini, nama lokasi Jatinegara Timur mungkin tidak “setenar” saudaranya yang berada disebelah baratnya, yaitu Jatinegara Barat. Jatinegara Barat yang merupakan akses jalan yang  menuju jalan Matraman Raya hingga jalan-jalan utama lainnya dikenal sebagai daerah langganan banjir disetiap musim penghujannya.

Lokasi persis daerah banjirnya sendiri adalah didaerah Kampung Pulo yang memang berada disisi bantaran Kali Ciliwung, yang terletak dibelakang Jalan Jatinegara Barat. Sementara itu Jalan Jatinegara Barat yang terkena langsung limpahan air banjir sehingga memutus akses jalannya adalah yang berada didataran rendah (dalam hal ini lokasinya tidak jauh dari Gereja St Maria kebawah hingga pertigaan Jalan Bukit Duri).

Sekarang kita lupakan sejenak Jatinegara Barat, sambil berdoa dan berharap agar air segera surut disana sehingga saudara-saudara kita bisa melakukan segala aktivitasnya sehari-hari dengan nyaman dan tanpa adanya gangguan yang berarti.

Bagaimana halnya dengan Jatinegara Timur dimusim hujan? Untuk wilayah yang satu ini cukup aman dari sentuhan banjir karena memang lokasinya agak jauh dari bantaran Kali Ciliwung serta nampaknya jalan ini agak tinggi posisinya dengan Kali tersebut.

Jalan Jatinegara Timur buat aku sendiri menyimpan sejuta kenangan terlebih lagi dengan Jalan Jatinegara Timur 101. Dahulunya lokasi ini kerap aku kunjungi saban Sabtu siang selepas pulang sekolah hingga kemudian pulang kembali di Minggu sorenya.

Bukan… bukan untuk mengapeli seorang gadis disana melainkan untuk mengunjungi rumah pamanku sekaligus bermain dengan anak-anak paman yang umurnya tidaklah berjauhan denganku. Anak pamanku sendiri hanya seorang yang laki-laki sementara tiga lainnya adalah perempuan yang cantik-cantik.

Wajar memang kalau anak pamanku cantik-cantik karena pamanku sungguh beruntung  mendapatkan pasangan hidup yang blasteran Ambon-Belanda. Yahh… tanteku memang masih ada darah “bulenya” dari ayahnya yang bernama  Thijssen yang biasa dipanggil Opa oleh cucu-cucunya (anak-anak paman).

Ada pengalaman unikku dengan Opa ini. Tanteku kan muslim dan anak-anaknya pun semuanya muslim hanya Opa yang saat itu masih Nasrani. Suatu ketika kami mengantarkan Opa pergi ke gereja (bersama anak-anaknya Tante), karena aku dan anak-anak Tante belumlah dewasa, saat itu kami masuk begitu saja kedalam gereja setelah tiba disana dan “sedikit” mengikuti peribadatan didalamnya dimana kami sempat diberi roti, entah itu dari pastor atau apa itu panggilannya, aku tidak tahu dan memang tidak mengerti sama sekali.

Lokasi Jatinegara Timur 101 yang posisinya berdekatan dengan Mini Super Jatinegara (hanya selang satu rumah), dahulunya pernah berdiri sebuah bengkel motor khusus vespa yang diberi nama oleh pamanku, Pratama Motor. Disinilah gerbang utama aku sebelum memasuki rumah pamanku yang terletak agak kedalam lagi.

Untuk memasuki rumah pamanku yang jaraknya lebih kurang 100 meter dari bengkel motor, aku menyusuri jalan tanah yang rata dengan beberapa rumah dikiri kanannya. Kata anak-anak pamanku, rumah-rumah tersebut dibangun diatas tanah Opanya. Entah bagaimana nasib penghuni rumah-rumah tersebut ketika tanah dan bangunan rumah paman akhirnya terjual, aku tak tahu.

Menyusuri jalan yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil ini, kemudian tibalah aku dimuka rumah pamanku  yang sangat asri dan sejuk karena banyak tanaman serta pohon didepannya yang memang sengaja ditanam untuk mengurangi panasnya matahari tatkala siang.

Bangunan rumah pamanku sendiri, boleh dikata adalah bangunan lama model Belanda, entah itu bergaya apa, art deco atau apalah, aku tak tahu. Aku hanya tahu, ada tiga pintu didepan rumahnya. Satu pintu utama dengan daun  pintu yang cukup tinggi dan lebar yang berada ditengah. Satu lagi dikanannya yang hanya dibuka pada saat-saat tertentu saja dan yang ketiga yang berada disebelah kiri dari pintu utama. Inilah pintu yang sering aku tatap saat menjelang saudaraku membukakan pintu ketika mendengar bel yang kutekan dari atas pintu ini.

Rumah pamanku yang bergaya Belanda ini memang cukup besar sehingga sejujurnya buatku sendiri cukup menyeramkan dikala malam hari, apalagi disamping garasi mobilnya yang memang berdekatan juga dengan taman, ada beberapa ruas pohon bambu yang cukup tinggi yang kalau tertiup angin kencang suka berderit-derit bunyinya.

Beruntung rumah yang cukup besar itu dihuni oleh tujuh orang didalamnya sehingga rasa iseng dan kesepian sedikit banyak diminimalisir. Seram juga kan rasanya  membayangkan bila rumah sebesar itu misalnya hanya dihuni oleh tiga orang saja.

Rumah yang cukup besar tentunya harus ada penjaganya agar memberikan rasa aman dan nyaman buat orang-orang didalamnya. Oleh karena itu pamanku memelihara beberapa ekor anjing didalamnya yang kebetulan anak-anaknya juga amat menyukainya. Mungkin fikir pamanku daripada membayar petugas keamanan yang menjaga rumahnya lebih baik dia memelihara beberapa ekor anjing, mengingat hewan yang satu ini begitu penurut sama tuannya dan juga penciumannya yang cukup tajam bila ada sesuatu yang mencurigakannya.

Seingatku ada kurang lebih 4 atau 5 ekor anjing yang dipelihara, dimana hanya satu ekor anjing yang sudah faham betul dengan “baunya” aku sehingga setiap aku main kesana, anjing yang satu ini hanya sekali menyalaknya kemudian dia mengendus-endus kedua kakiku yang membuat aku merasa geli dibuatnya. Sementara sisanya (4 ekor anjing) walaupun aku sudah sering main kesana tapi tetap saja anjing-anjing ini menyalak dengan kerasnya tanpa henti. Anjing-anjing ini baru berhenti menyalak ketika suara keras tuannya menggaung kedalam pendengarannya.

Sejujurnya aku merasa kurang nyaman dengan keberadaan anjing-anjing pamanku karena membuatku tak bisa bebas bergerak. Coba bayangkan, saat aku ingin ke kamar mandi ataupun ke ruang makan, aku selalu minta ditemani oleh anak-anak paman karena aku takut dengan anjingnya yang seringkali ingin menggigit aku. Bahkan saat makan diruang makan pun, kakiku selalu saja tak bisa diam karena beberapa ekor anjing yang berada dikolong meja makan selalu saja mengendus-endus kaki kecilku. Untuk yang satu ini sepertinya anak-anak paman tak mengetahuinya karena memang aku berusaha menutupinya. Lain hal kalau anjing-anjing tersebut sudah kelewat “nakal” dan “gemes” karena mengira kakiku adalah tulang-tulang bagi mereka, barulah aku berteriak minta tolong.

Diatas sudah disinggung kalau istri pamanku masih ada darah “bulenya” sehingga dalam bahasa verbal dengan Opanya pun mereka biasanya menggunakan bahasa Belanda dan kadang Inggris sebagai campurannya. Tak aneh bila kemudian anak-anak paman begitu pandai menguasai bahasa asing terutama sekali bahasa Inggris. Aku sendiri hanya bisa diam dan menyimak tatkala tanteku berdialog bahasa Belanda dengan Opanya.

Anak-anak pamanku tidak hanya yang lelaki, yang perempuan pun amat menyukai musik, terutama sekali musik-musik barat. Masih ingat rasanya, saudara-saudaraku yang perempuan ini amat mengidolakan grup musik NKOTB atau New Kids On The Blocks ataupun si penyanyi ganteng Tommy Page. Sementara itu yang lelakinya suka sekali mendengarkan lantunan lagu “Just As I am” dari Air Supply atau “Tarzan Boy” nya Baltimore.

“Virus” inilah yang kemudian ditularkan ke aku sehingga aku yang tadinya gagap dalam pengucapan kosakata dalam bahasa Inggris, menjadi sedikit benar dalam mengucapkannya setelah sering mendengarkan lagu-lagu barat sehingga secara tak langsung aku juga belajar bahasa asing dari anak-anak paman.

Selain menyukai musik, anak-anak paman juga suka sekali menonton film-film mandarin yang berseri, macam film kungfu series “To Liong To”, “Legend Of The Condor Heroes”, “Demi God And Semi Devil”. Film-film tersebut biasa didapatkan lewat abang penyewa  film yang datang ke rumah pamanku dengan membawa tas hitam besarnya. Aku sendiri menyebut abang penyewa film ini dengan istilah “engkoh” atau panggilan kepada seseorang yang mempunyai darah keturunan etnis Tionghoa karena memang dari ciri fisiknya yang menandakan dia adalah seorang Tionghoa.

Membandingkan film-film yang dibawa oleh si engkoh pada saat itu dengan kaset-kaset film yang sekarang rasanya ingin tertawa saja. Film-film pada masa itu bentuknya kotak persegi panjang layaknya sebuah batu bata, gedeee banget rasanya. Lumayan tuh rasanya kalau buat nimpuk orang. Sebaliknya dengan kaset-kaset film yang sekarang yang bentuknya semakin ramping karena didesain seperti cakram/piringan sehingga input tekhnologinya pun semakin canggih.

Keluarga pamanku yang tinggal di Jatinegara Timur 101 ini sangat menyukai olahraga bulutangkis sehingga tak aneh bila anak yang lelakinya dimasukkan kedalam sebuah PB dibilangan Jakarta Timur. Kata anak pamanku, mantan pebulutangkis putri nasional Sarwendah, pernah bergabung di klub dimana anak paman berlatih. Namun sayangnya perkembangan prestasi yang diharapkan oleh pamanku sepertinya tidak sesuai dengan harapan sehingga akhirnya prestasi itu pun hanya sebatas mimpi. 😦

Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan tahun berganti tahun. Usia seseorang pun semakin bertambah dari waktu ke waktu tanpa bisa dicegah. Satu persatu keluarga pamanku dipanggil oleh Rabb-Nya. Pertama sekali adalah Opanya, kemudian tanteku yang baik hatinya dan akhirnya pamanku pun menyusul.

Sepeninggal tante dan pamanku, hubungan persaudaraan kami pun seakan renggang dan seakan memutus. Hanya anak lelaki paman yang kadangkala masih suka kontak dengan kami. Sedih juga rasanya karena mengingat masa kecil kami yang selalu bercanda dan bermain bersama kini hanyalah tinggal cerita kenangan… yah, sebuah kenangan manis yang sulit terlupakan di jatinegara Timur 101…

Love you all… Tanti, Heni, Indah, Rahmat !

20 Comments

  1. Ping balik: “Ranjau Darat”… Apesnya! | capung2

  2. Ping balik: ~ aYam baKar…~ | ~wi3nd~

  3. @ririn.. Jatinegara sama spt kota2 lainnya di INA.. masing2 punya sejarah dan ceritanya tersendiri.

    thx sdh singgah !

    @ina… iya nanti dicoba..

    dlu jga sehabis dr rumah tanteku ini, sya mandi bersih2, takut ngerasa ada bagian tubuh terutama kaki yg terkena najisnya.

  4. kalo takut sama anjing jadi ingat teman kerjaku, lokasi kerja yang bersebelahan dengan rumah warga non muslim dan memiliki anjing membutrauma tersendiri. Dikarenakan karena terlakut, malah pada suatu diandi kejar dan di gigit anjing.

  5. Wah, selalu tertarik dengan pernikahan beda negara. Pasti banyak kisah2 lucunya terkait bahasa masaing2. Hmm gimana yaa wajah perpaduan bule ambon – belanda itu, jadi pengen liad, he….

    Semoga selalu terjalin silaturrahminya ya pak…

  6. bangunan rumah paman sudah nggak ada lagi ya…?
    aku suka daerah sini, kl lewat masih suka cuci mata lihat rumah2 model lama…, pasti rumah pamanmu keren banget ya.., punya halaman luas pula.., senang main di situ kan

    • benar mb, tak ada lagi yg tersisa disana stlh rmh terjual bahkan pohon beringin besar yg umurnya cukup tua, ikut lenyap digilas oleh pemilik yg baru.

      rumahnya lumayan antik, spt model bngunan belanda aja mb, nampak kokoh.

      sekarang disana sdh jadi tempat perkantoran/usaha bonagabe.. lumayan luas mmg.

      tadi sore bru aja call anak paman yg cwok, nanya klo aku ingin melihat foto2 rumah jadulnya..

  7. jalin lagi silaturahimnya mas,mencoba mengulang rindu dengan smua,pasti bisa selama masih ada yang di hubungi 🙂

    deket mini super itu ada warteg yang jual ayam bakar enak itu langganan aku dulu mas,ada lagi mie ayamnya 🙂
    *halah aku mesti makanan mulu 😀

    • iya.. sodaraku yg cwok mmg sesekali msh suka kontak tapi yg cwek2nya sdh lama bnget gag saling komunikasi.. kangen bnget sama mereka, apa krn cuacanya jga ya, yg bikin galau sma masa kecil..

      wahh.. bener 100 persen, jgn2 dlu kt pernah papasan mungkin yah, soalnya daerah sekitar situ adlh tmpat main aku.. srg bnget dlu klo belanja nemanin anak paman ke mini super.. trus sblh sononya warteg..

      jdi ngenang masa lalu lagi nih.. hiks..

Trims untuk komentarnya....